Diberdayakan oleh Blogger.

alexa

Followers

6.18.2013

ONANI DAN MASTURBASI APAKAH BOLEH ?

Telah sampai kepada kami salah satu pertanyaan yang sebagian orang menganggap tabu dan risih untuk ditanyakan. Namun salah seorang saudara kita berkeyakinan tak ada tabu atau malu dalam hal bertanya soal kebenaran, sekalipun hal itu menyangkut hal pribadi dan privacy. Sikap ini adalah sikap yang benar, sebagaimana dicontohkan oleh kalangan sahabat wanita pada jaman Rasulullah s.a.w. :

Ummu Sulaim r.a. datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika bermimpi? Rasulullah saw. bersabda: Ya, apabila ia melihat air mani (H.R. Muslim No.471)

Bagi yang mungkin belum familiar dengan tema yang ditanyakan, onani dan masturbasi adalah merangsang kemaluannya sendiri untuk melepaskan desakan biologis / seksual. Istilah onani berasal dari cerita Onan dalam Bible Perjanjian Lama Kitab Kejadian 38:4-10, dimana Onan selalu membuang “air maninya”. Maka istilah onani itu lebih dikaitkan pada lelaki. Sedangkan masturbasi adalah perilaku serupa yang dilakukan wanita.

Kebanyakan ulama jika ditanya mengenai onani dan masturbasi akan serta mera mengatakan haram. Karena pada dasarnya seorang mukmin diminta untuk menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri atau budaknya.

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Q.S. Al Mu’minuun: 5 – 6)

Maka berdasarkan keumuman maksud dari ayat di atas, Imam Syafi’I dan Imam Malik serta ulama lainnya mengharamkan orang melakukan onani atau masturbasi baik pria maupun wanita. Karena hal itu dianggap sebagai menyalurkan pada tempatnya yang sah.

Bagaimana dengan yang belum beristiri / bersuami? Rasulullah s.a.w. memberikan solusi agar menahan panadangan (gadhul bazhor), menghindari melihat hal-hal yang merangsang syahwat dan solusi kedua adalah berpuasa.

Dari Ibnu Mas’ud r.a. Nabi SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”. (H.R. Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400)

Ada juga yang melarang onani berdasarkan hadits ini :

“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) (H.R. Ibnu Bisyran)

Hadits di atas adalah hadits dla’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if (lemah) hafalannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqolani telah menjelaskan hal ini dalam At-Talkhish Al-Habir Hadits no. 1666. Demikian pula Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 2401 serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah no. 319.

Ada juga yang melarang onani dan masturbasi berdasarkan hadits ini :

“Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah melihat“ (H.R. Bukhari Muslim)

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama mengatakan tak ada solusi lain selain dua solusi di atas. Mereka mencukupkan diri dengan ayat dan hadits di atas. Saya rasa, fatwa semacam ini kurang bijak dan tidak mempertimbangkan realita di lapangan, dan tidak memberikan solusi bagi sebagian orang yang memang menghadapi masalah yang serius dalam hal ini.

Istilah onani sendiri berasal dari cerita Onan dalam Taurat (saat ini dibukukan oleh umat nasrani dinamakan Bible Perjanjian Lama. Dimana Onan dinikahkan dengan saudari sepupunya yang ia tidak cintai, maka Onan tidak bersedia memiliki keturunan dari istrinya itu, sehingga ia selalu membuang air maninya ke luar.

Namun pelarangan onani bukan monopoli syariat Islam. Agama Nasrani pun memiliki ayat yang isinya senada dengan hadits Rasulullah s.a.w. di atas. Dalam dalam Salinan Injil oleh Matius Pasal 5 ayat 28 dikatakan : “Setiap orang yang memandang wanita dan lalu menginginkannya, maka ia sudah berzina dalam hatinya”.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa solusi permasalahan fiqih terkadang tidak bisa semata terpaku pada keumuman dalil sehingga dikatakan selamanya boleh atau selamanya haram. Juga tidak bisa dipukul rata pada semua kondisi. Demikian pula tidak bisa boleh bagi semua orang dalam semua kondisi, atau diharamkan bagi semua orang pada semua situasi. Keputusan fikih bisa berubah tergantung situasi dan zaman, juga bisa berbeda pada satu negeri dengan negeri lain. Demikian pula harus memahami dan meninjau realita zaman.

Pertama, Jika onani atau masturbasi itu dilakukan dalam lingkungan pernikhaan. Misalnya oleh pasangan suami istri dalam rangka memberikan rangsangan satu sama lain, maka jelas hal ini dibolehkan. Demikian pula jika suami atau istri masing-masing merangsang dirinya sendiri, di hadapan pasangannya sebagai persiapan menuju coitus (hubungan suami istri) atau jima’ maka hal itu adalah halal. Hal ini juga bisa menjadi solusi misalnya ketika istrinya sedang haid atau sedang nifas (pendaharan pasca melahirkan) dimana syariat memang melarang suami untuk berhubungan badan selama 40 hari. Maka untuk laki-laki yang tidak tahan dengan gejolak biologisnya, maka hal ini bisa menjadi solusi.

Kedua, jika yang bersangkutan belum menikah dan terdesak syahwat yang memuncak sehingga khawatir dirinya melakukan zina, maka onani atau masturbasi ini bisa haram bisa makruh bisa juga boleh, tergantung situasinya.

Ketiga, jika ia bukan tergolong orang yang memiliki kelebihan hormon, atau memiliki libido yang di atas normal, dan masih ada alternatif jalan untuk mengendurkan desakan syahwatnya dengan cara menghindari hal-hal yang merangsang syahwat. Maka ia wajib untuk berusaha menghindari hal-hal yang merangsang syahwat, seperti berlama-lama menatap wanita (atau jika wanita maka jangan menatap pria tampan lama-lama) karena ini semua akan membangkitkan syahwat.

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya” (Q.S. An-Nuur : 30)

Yang dimaksud adalah jangan menatap lama-lama sehingga sampai timbul khayalan dan bayangan atau terbayang-bayang dalam pikiran

“Dari jarir bin Abdullah r.a. , ia berkata saya bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai melihat wanita secara mendadak, maka jawab Nabi : Palingkan pandanganmu !” (H.R. Muslim Abu Daud Tirmidzi dan Ahmad).

Dalam hadits lain dikatakan :

“Hal Ali ! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan yang lainnya, kamu hanya boleh pandangan yang pertama, padangan berikutnya tidak boleh” (H.R. Abu Daud)

Ini semua dalam rangka meredam gejolak. Dan jangan sampai membuat syahwat memuncak.

Keempat, jika masih mampu, sebaiknya ia berusaha mengendalikan diri dengan cara berpuasa, atau berusaha menyalurkan kelebihan hormonnya dengan banyak berolah raga, maka hal ini lebih patut untuk dicoba. Sehingga pada situasi seperti ini onani dan masturbasi adalah makruh.

Dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w. bersabda :

“Hai para pemuda barang siapa diantara kalian sudah mampu menikah maka hendaklah menikah sebab dengan cara ini ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Barang siapa belum diberi kemampuan untuk menikah hendaklah ia berpuasa, karena puasa baginya adalah perisai” (H.R. Bukhari)

Kelima, jika ia tergolong orang yang memiliki kelebihan hormon, memiliki libido yang di atas rata-rata, dan ia telah mencoba berbagai cara termasuk berpuasa untuk meredakan gejolak syahwatnya namun tetap saja tidak tertanggulangi, sehingga khawatir terjerumus zina, atau bagi sebagian orang bisa mengalami pusing, demam, sulit konsentrasi dan beraktifitas secara normal,

Ulama Madzhab Hanafi dan Madzhab Dzahiri Ibnu Hazm membolehkan bagi orang seperti ini onani atau masturbasi boleh dilakukan hanya dalam keadaan sangat terpaksa yaitu takut zina dan tidak mampu kawain. Sedangkan Madzhab Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa air mani itu ibarat daging lebih yang bila mana perlu (atau terdesak) boleh dipotong atau dibuang. Sedangkan Madzhab Syafi’i tetap mengharamkannya.

Orang yang mengalami kelebihan hormon dan daya seksual tinggi biasanya ditandai dengan terjadinya pubertas (akil baligh) yang terlalu dini, seperti misal umur 9 tahun sudah mimpi basah, sudah tumbuh jakun dan bulu kemaluan, atau sudah mengalami menstruasi bagi wanita. Atau bagi sebagian pria tandanya adalah sering keluar mazi (berbeda dengan mani) yaitu cairan encer pengantar air mani. Orang seperti ini sering kerepotan karena testis nya memproduksi sperma dalam jumlah berlebih dibanding rata-rata lelaki lainnya, walaupun ia tidak melihat hal-hal yang merangsang. Hal ini pernah terjadi pada Ali bin Abi Thalib r.a. :

Dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata: Aku adalah lelaki yang sering keluar mazi dan aku malu bertanya kepada Nabi saw., karena posisi putri beliau. Lalu aku menyuruh Miqdad bin Aswad menanyakan hal itu. Miqdad lalu menanyakan hal itu kepada beliau. Dan beliau bersabda: Hendaknya ia membasuh kemaluannya (setiap keluar mazi) lalu berwudhu. (H.R. Muslim No.456)

Keenam, sebagian ulama yang membolehkan onani atau masturbasi memberikan catatan bahwa orang tersebut harus terlebih dahulu menghindarkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat, kemudian andaipun tidak bisa juga ia terlebih dahulu berusaha meredam gejolaknya dengan cara berpuasa, berolah raga, mengalihkan perhatian pada hal hal bermanfaat dan menyalurkan energinya pada hal lain. Jika hal ini tidak bisa juga baru ditempuh jalan terakhir yang makruh.

Ketujuh, jika ia tidak termasuk pada golongan orang-orang yang terdesak karena kondisi diri yang melebihi orang lain, dan ia belum mencoba untuk melakukan usaha meredam gejolaknya, dan semata mata ia melakukan ini karena ingin merasakan kenikmatan dengan cara yang salah, maka hal ini adalah haram dan termasuk zina mata dan zina hati. Walaupun ia seorang suami yang telah memiliki istri, dan ia tidak mau menggauli istrinya malah ia lebih suka menyalurkan dengan cara onani dan masturbasi, sedangkan istrinya menunggu dan siap melayaninya, maka ini juga adalah cara yang haram.

Pendapat Ulama Yang Mengharamkan Onani

Imam Ghazali menukil sebuah riwayat dari Ibnu Abbas r.a. bahwa suatu ketika seorang pemuda bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. : “Saya adalah seorang pemuda yang mengkhawatirkan diri saya kadang saya mengeluarkan mani dengan tangan saya (onani) maka apakah demikian itu termasuk maksiat?” Ibnu Abbas r.a. berkata : cis, cis, kawin dengan wanita budak itu lebih baik daripada onani namun onani itu lebih baik daripada berzina “(Ihya Ulumudiin Kitab bab Targhib fii Nikah Jilid 2 Hal 702)

Ibnu Taimiyyah berkata dalam Kitab Majmu Fatawa nya : Onani itu hukumnya haram menurut kebanyakan ulama dan ini adalah salah satu dari dua riwayat Imam Ahmad, bahkan dikatakan yang paling jelas. Sedangkan menurut satu riwayat (Imam Ahmad yang lain) hukumnya adalah makruh. Tetapi bila timbul guncangan dalam jiwa orang yang bersangkutan, misalnya ia khawatir terjatuh ke dalam perbuatan zina jika tidak melakukan onani, atau khawatir sakit (karena menahan mani) maka dalam hal ini terdapat dua macam pendapat ulama. Beberapa golongan ulama salaf dan khalaf memberikan keringanan )membolehkannya) sedang sebagian lainnya melarangnya (Majmu’ Fatawa Juz 34 Hal 230)

Ketiga, jika ia sengaja menjerumuskan dirinya dengan gemar melihat hal-hal yang merangsang syahwat lalu akhirnya tidak kuat menahan syahwat dan khawatir zina, maka orang seperti ini dibolehkan melakukan onani atau masturbasi daripada akhirnya berzina. Namun tindakannya menjerumuskan dirinya dengan gemar melihat hal-hal yang merangsang syahwat adalah terlarang.

Keempat, kita mengetahui realita pada jaman ini banyak negara yang suasana kehidupan masyarakatnya tidak islami, dimana wanita dibolehkan lalu lalang dengan pakaian seadanya di tempat umum, di mall, pasar, perkantoran, hanya mengenakan short pant (celana pendek), baju menerawang, bahkan mengenakan pakaian dalam saja di tempat tertentu (misal di pantai) maka situasi seperti ini jelas berpotensi merangsang syahwat. Hanya orang tidak normal dan pura-pura bodoh saja yang menuduh “lelaki berpikiran kotor” saja yang terangsang dengan hal ini. Kami mengatakan justru semua lelaki “normal” sewajarnya terangsang dengan hal seperti ini. Dan hal ini di luar, kendali individu, karena ini adalah kewajiban pemerintah untuk mengaturnya. Maka dengan situasi seperti ini, onani dan masturbasi adalah jalan darurot untuk membebaskan diri dari perangkap zina. Karena setelah desakan syahwat itu tersalurkan, manusia bisa bertindak lebih tenang, berfikir jernih dan tidak dikuasai hawa nafsu.

Ibnu Hajar Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan : “Segolongan ulama membolehkan onani, dan ini adalah pendapat golongan Hanabilah (Mazhab Hambali) dan sebagian ulama Hanafiyah (Mazhab Hanafi) karena untuk mengendurkan syahwat” (Fathul Bari Juz 11 Hal 12)

Apalagi bagi mereka yang tinggal di negara kafir dan liberal yang menganut sex bebas, dimana sex shop dan video porno dijual bebas di depan gerbang sekolah, orang bercumbu bahkan melakukan hubungan layaknya suami istri di tempat umum dan tidak peduli dilihat orang banyak, maka pada situasi negeri seperti ini, onani dan masturbasi adalah dibolehkan daripada ia terseret arus sex bebas di negeri itu.

Keenam, jika orang tersebut sudah menjadi kecanduan onani atau masturbasi, sehingga onani dan masturbasi itu bukan lagi sebagai solusi darurat untuk mengendurkan syahwat melainkan malah berubah menjadi suatu cara untuk menikmati alat vitalnya sendiri atau kegemaran berkhayyal akan hal-hal maksiat, maka orang seperti ini haram melakukan onani atau masturbasi.

Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau (Majmu’ Fatawa Juz 10 Hal 574)

Perlu diketahui, dari hasil survei, anak muda lebih banyak melakukan kegiatan onani atau masturbasi ketimbang manusia dewasa. Tentu saja karena kelebihan hormon lebih sering terjadi. yang berlebihan akan membahayakan tubuh sekaligus meruntuhkan moral seseorang, baik itu pria maupun wanita.

Syaikh Ali Thanthowi mengatakan : Jika seseorang sengaja melakukan onani meskipun keburukannya paling kecil danmudharatnya paling ringan di antara tiga macam kehelekan tetapi jika melampaui batas maka ia dapat menimbulkan kesedihan dalam hati, dan penyakit tubuh dan menjadikan pelakunya yang masih muda nampak tua, gundah, malas atau beringas yang menyebabkan orang lain lari dan takut padanya dan dia sendiri akan takut menghadapi kenyataan beban kehidupan (Shuwar wa Khawaathir Hal 167)


Baca selengkapnya..